Monday, January 13, 2014

Makalah Hadits Ahkam AS


PERADILAN (HAKIM)




BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah
Keberadaan hakim ditengah-tengah masyarakat beradab merupakan suatu keniscayaan.  Karena persoalan-persoalan yang sudah pasti timbul di masyarakat memerlukan suatu perangkat yang diharapkan  dapat memecahkan dan menyelesaikan masalah tersebut dengan jaminan kepastian.
Hakim dan lembaga peradilannya merupakan salah satu unsur utama dalam upaya menyelesaikan persoalan-persoalan masyarakat tersebut disamping   dalam  upaya melestarikan kondisi kondusif dalam masyarakat itu sendiri.  Karena peranannya yang demikian strategis, maka  kedudukan hakim, baik menurut Tuhan  ataupun manusia, sesungguhnya sangat  mulia.  Hal ini disamping  dikarenakan pertimbangan-petimbangan tersebut juga secara  tegas dipuji oleh Syari` dengan ungkapan-ungkapan anatara lain:
÷bÎ)ur |MôJs3ym Nä3÷n$$sù NæhuZ÷t/ ÅÝó¡É)ø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÏÜÅ¡ø)ßJø9$#
Artinya:
Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, Maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil. (Al-Maidah: 42).

B.       Rumusan Masalah
Adapun masalah-masalah yang dikembangkan penulis dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.    Tiga tipe hakim
2.    Perlunya kestabilan jiwa hakim
3.    Ijtihad hakim

BAB II
PEMBAHASAN
A.      Tiga Tipe Hakim
1.    Hadtis
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ حَسَّانَ السَّمْتِيُّ حَدَّثَنَا خَلَفُ بْنُ خَلِيفَةَ عَنْ أَبِي هَاشِمٍ عَنْ ابْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ، عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ، قَالَ: الْقُضَاةُ ثَلاَثَةٌ: وَاحِدٌ فِى الْجَنَّةِ واثْنَانِ فِى النَّارِ، فَاَمَّا الَّذِى فِى الْجَنَّةِ: فَرَجُلٌ عَرَفَ الْحَقَّ فَقَضَى بِهِ، وَرَجُلٌ عَرَفَ الْحَقَّ فَجَارَ فِى الْحُكْمِ، فَهُوَ فِى النَّارِ، وَرَجُلٌ قَضَى لِلنَّاسِ عَلَى جَهْلٍ فَهُوَ فِى النَّارِ. (أَبُو دَاوُد).
2.    Terjemah:
Muhammad bin Hasan as-Samtiy menceritakan kepada kami, Khalaf bin Khalifah menceritakan kepada kami, dari Abi Hasyim, dari ibn Buraidah, dari ayahnya, dari nabi SAW, beliau bersabda: "Hakim itu tiga. Satu di surga, sedang yang dua di neraka. Hakim yang di surga ialah: Seorang yang mengetahui kebenaran, lalu memutuskan hukum dengan kebenaran itu. Sedangkan seorang hakim yang mengetahui kebenaran, lalu dia berlaku alim (menyimpang dari kebenaran), maka dia di neraka. Demikian pula seorang yang menentukan hukum kepada umat manusia, padahal dia tidak tahu, maka dia adalah di dalam neraka. (H.R Abu Dawud).[1]

3.    Penjelasan
Islam sangat menghormati dan sangat mengangkat derajat orang-orang yang berilmu dengan derajat yang tinggi serta menganggap mereka sebagai pemelihara atau penjaga para Rasul selama mereka tidak memfokuskan tujuan keilmuannya semata-mata untuk memperoleh kehidupan duniawi. Apabila tujuan mereka adalah memperoleh kehidupan dunia, mereka telah mengkhianati para Rasul, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadis yang artinya: "Hormatilah para ulama, sebab mereka adalah pewaris para Rasul. Barang siapa yang menghormati mereka, maka berarti mereka telah menghormati Allah dan Rasul-Nya. (H.R. Khatib dari Jabir). [2]

4.    Kandungan Hadits
·      Di dalam hadits di atas terdapat penjelasan tentang keutamaan orang yang berkiprah dalam peradilan dan mengetahui kebenaran dan menetapkan hukuman berdasarkan kebenaran tersebut,
·      Ancaman api neraka bagi hakim yang mengetahui kebenaran, tetapi tidak menetapkan hukum berdasarkan kebenaran tersebut.
·      Perumpamaan hakim yang mengetahui kebenaran, tetapi tidak menetapkan hukum  berdasarkan kebenaran itu, bagaikan orang bodoh yag menetapkan hukum dengan kebodohannya dan kedudukannya adalah di neraka.
·      Keputusan hakim yang tidak diberlakukan adalah keputusan hakim kelompok pertama, yakni hakim yang mengetahui kebenaran dan menetapkan hukum berdasarkan kebenaran tersebut.

5.    Takhrij Hadits
1.   Kitab hadits: Abu Dawud (فِي الْقَاضِي يُخْطِئُ, juz: 9, hal: 463, no: 3102)
2.   Kitab hadits: Tirmidzi (مَا جَاءَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صلَّمَ فِي مَنْعِ الزَّكَاةِ مِنْ التَّشْدِيدِ, juz: 5, hal: 155, no: 1244)
3.   Kitab hadits: ibnu Majah (الْحَاكِمِ يَجْتَهِدُ فَيُصِيبُ الْحَقَّ, juz: 7, hal: 104, no: 2306)

B.       Perlunya Kestabilan Jiwa Hakim
1.    Hadits
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ عُمَيْرٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ، كَتَبَ أَبِي إِلَى عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرَةَ وَهُوَ قَاضٍ أَنْ لَا تَحْكُمْ بَيْنَ اثْنَيْنِ وَأَنْتَ غَضْبَانُ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا يَحْكُمْ الْحَاكِمُ بَيْنَ اثْنَيْنِ وَهُوَ غَضْبَانُ. (رراه الترمذى)

2.    Terjemah
Qutaibah bin Sa'id menceritakan kepada kami, Abu Awanah menceritakan kepada kami dari Abdul Malik bin Umair dari Abdurrahman bin Abi Bakrah, ia berkata: Ayahku menulis pesan kepada Ubaidillah bin Abi Bakrah dan ia adalah qadhi, agar tidak memutus perkara antara dua orang yang bersengketa, dan kamu dalam keadaan marah, karena saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: "Janganlah hakim memutus perkara antara dua orang sengketa, sementara dia masih dalam situasi marah". (H.R Tirmidzi)[3]

3.    Penjelasan
Keadilan adalah faktor penopang kemakmuran dan pembangkit ketenangan jiwa. Melalui keadilan kebenaran dapat ditegakkan dan kebatilan dapat dihancurkan. Hal ini karena dibawah lindungan keadilan itulah, orang yang lemah merasa terlindungi dan terlepas dari pemerasan dan kekuasaan tangan-tangan zalim. Di bawah lindungan keadilan, orang lemah dapat menjadi kuat dalam menghadapi kebathilan yang dilancarkan oleh orang-orang kuat yang zalim dan di bawah sinar keadilan itu pula di daam kehidupan dapat menjanjikan kebahagiaan. Sebaliknya, di bawah kekuatan sinar keadilan ini pula, gema penyimpangan dan penyelewengan menjadi sirna.
Kenyataan ini dapat terealisasikan kalau pelaku keadilan itu berada di dalam kondisi sadar terhadap berbagai pengaduan dan pengakuan yang dihadapkan kepadanya sehingga ia dapat bersikap penuh objektif yag akurat, analisis yang cermat, terbebas dari unsur-unsur penyimpangan yang dapat memutarbalikkan keadaan, tidak tergoyahkan oleh hawa nafsu, tidak tertawan oleh perasaan cintanya, terbebas dari kecenderungan dan kepentingan tertentu yag dapat merusak keadilan dan menimbulkan ketidak tentraman dan gejolak ketidakpuasan di antara sesama manusia.
Oleh karena itu, pelaku penegak keadilan seperti hakim harus memelihara diri dari kondisi tertentu dan sikap tertentu yang dapat mendorong dirinya untuk berbuat tidak adil dalam memutus suatu pengaduan dan pengakuan yang disampaikan oleh para pencari keadilan. Umpamanya seorang pelaku penegak keadilan tidak diperkenankan dan memaksakan dirinya untuk memutus sebuah pengaduan dalam kondisi emosi yang tidak stabil, dalam kondisi marah sebagaimana tercantum dalam hadits di atas atau kondisi-kondisi ketidakstabilan lainnya.[4]

4.    Kandungan Hadits
·      Hadits di atas menyatakan larangan terhadap seorang hakim untuk memutuskan suatu permasalahan dalam kondisi marah
·      Alasan terhadap larangan tersebut karena kondisi seperti itu dapat mengeluarkan seorang hakim dari pandangan yang tidak benar dan tepat serta mengeluarkannya dari kestabilan kondisi,sehingga tidak dapat berfikir dan berijtihad.
·      Para ulama juga memasukkan kondisi-kondisi lainnya yang mengeluarkan seorang hakim dari pandangan yang benar dan tepat serta mengeluarkannya dari estabilan kondisi seperti lapar atau kenyang dan perasaan yang sedih yang berlebihan.
·      Di dalam hadis tersebut tersirat perintah untuk saling memberikan nasihat di antara sesama muslim dalam rangka memperbaiki kestabilan kondisi mereka, terlebih lagi bagi para pemimpin penegak keadilan.
·      Seorang hakim apabila memutuskan suatu permasalahan dalam kondisi tertentu dari kondisi-kondisi tersebut di atas dengan benar, maka keputusannya dapat di terima. Dengan kata lain, larangan untuk memberikan keputusan dalam kondisi di atas hanyalah merupakan tindakan antisipasi dan kehati-hatian.

5.    Pohon Sanad
 


















6.    Takhrij Hadits
1.   Kitab hadits: Muslim (كَرَاهَةِ قَضَاءِ الْقَاضِي وَهُوَ غَضْبَانُ, juz: 9, hal: 116, no: 3241)
2.   Kitab hadits: Tirmidzi (مَا جَاءَ لَا يَقْضِي الْقَاضِي وَهُوَ غَضْبَانُ, juz: 5, hal: 171, no: 1254)
3.   Kitab Hadits: Nasa'i (ذِكْرُ مَا يَنْبَغِي لِلْحَاكِمِ أَنْ يَجْتَنِبَهُ, juz: 16, hal: 252, no: 5311)
4.   Kitab Hadits: Ahmad (حَدِيثُ أَبِي بَكْرَةَ نُفَيْعِ بْنِ الْحَارِثِ بْنِ كَلَدَةَ, juz: 41, hal: 426, no: 19567)

C.      Ijtihad hakim
1.    Hadits
حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ مَهْدِيٍّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ وَاحِدٌ. (رراه الترمذى)

2.    Terjemah
Husain bin Mahdi menceritakan kepada kami, Abdurrazaq menceritakan kepada kami, Ma'mar menceritakan kepada kami dari Sofyan ats-Tsauri dari Yahya bin Sa'id dari Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm dari Abu Salamah dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah SAW bersabda: "Ketika hakim memutus hukuman dengan bersungguh-sungguh dan benar (putusannya), maka baginya dua pahala. Dan ketika hakim memutus dan ternyata dia salah, maka baginya satu pahala". (H.R Tirmidzi)[5]

3.    Penjelasan
Ijtihad  menurut bahasa adalah mengerahkan segenap kemampuan untuk mewujudkan perkara yang berat dan sulit. Sedangkan ijtihad menurut istilah ahli ushul fiqh adalah upaya mengerahkan segenap kemampuan dalam rangka mencari (dengan dugaan kuat) hukum syara', sampai dia merasa tidak mampu lagi untuk berbuat lebih dari yang telah diusahakan.
Mujtahid harus memenuhi dua syarat yaitu:
1.    Mampu mengetahui ilmu lughah (bahasa) dan nahwu yang mencukupi
2.    Mengetahui dan mengenal sumber-sumber hukum syara'
Ijtihad itu hukumnya fardhu kifayah. Pada setiap masa tidak boleh kosong dari keberadaan mujtahid. Apabila suatu kosong di suatu masa dari mujtahid maka kaum muslim berdosa. dengan adanya seorang mujtahid atau lebih pada satu masa maka akan menggugurkan kewajiban berijtihad kaum muslimin pada masa itu. Hal ini bisa ditinjau dari dua aspek:

1.    Sesungguhnya nash-nash syariat islam mengharuskan adanya ijtihad dari kaum muslim, karena nash-nash tersebut tidak datang secara rinci. bahkan nash-nash terperinci pun tidak mencakup seluruh masalah yang Qath'i.
2.    Adapun aspek kedua, maka berbagai kejadian di dalam kehidupan ini senantiasa baru dan terus berkembang. Selama tidak mengerahkan segala kesungguhan untuk menggali hukum yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi, maka kita tidak akan bisa menerapkan hukum syara' terhadapnya. Karena kita mengetahui bahwa nash-nash telah menunjukkan secara sempurna atas wajibnya menerapkan hukum syara' pada setiap masalah. Allah swt berfirman dalam surat Al-Maidah ayat 49 yang artinya: "Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang di turunkan Allah". (Q.S.Al-Maidah ayat 49).[6]

4.    Kandungan Hukum
·      Hadis tersebut menunjukkan bahwa Nabi SAW membenarkan penggunaan pertimbangan akal dalam memutuskan permasalahan apabila keputusan tersebut tidak didapatkan di dalam Al-qur'an dan As-sunnah secara eksplisit.
·      Nabi Muhammad SAW mengizinkan untuk menggunakan pertimbangan akal pikiran dalam masalah-masalah keagamaan. Perizinan  tersebut diundangkan secara terang-terangan dalam haditsnya. Hadits yang dianggap basis perizinan ijtihad ini adalah sabda nabi kepada Mu'adz Bin Jabal, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Dawud:
"Hafash Bin Umar telah meriwayatkan kepada kita yang di terima dari Syu'baauk Himsh, dari para sahabat Mu'adz Bin Jabal bahwa ketika Rasulullah mengutus Mu'adz ke Yaman, beliau bertanya," Bagaimana engkau mengadili permasalahan yang diajukan padamu? Mu'as menjawab: "saya akan mengadilinya dengan Kitabullah (Al-Qur'an)", Rosulullah SAW bertanya lagi: "bagaimanaa bila engkau tidak mendapat petunjuk dari Kitabullah?", Mu'adz menjawab: "saya akan mengadilinya dengan Sunnah Rasulullah SAW". Rasulullah bertanya lagi: "Bagaimana jika engkau tidak mendapatkan petunjuk di dalam Sunnah Rasulullah dan dalam Al-Qur'an?", Mu'adz menjawab: "kalau begitu, saya akan menggunakan pertimbangan akalku  (berijtihad) tanpa membatasinya". Kemudian rasul menepuk punggung Mu'adz Bin jabal sambil berkata: "Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepada utusan Rasul-Nya sebagaimana yang dikehendaki". (H.R.Abu Dawud).

5.    Takhrij Hadits
a.       Kitab Hadits: Bukhari (أَجْرِ الْحَاكِمِ إِذَا اجْتَهَدَ فَأَصَابَ أَوْ أَخْطَأَ, juz: 22, hal: 335, no: 6805)
b.      Kitab Hadits: Muslim (بَيَانِ أَجْرِ الْحَاكِمِ إِذَا اجْتَهَدَ فَأَصَابَ أَوْ أَخْطَأَ, juz: 9, hal: 114, no: 3240)
c.       Kitab Hadits: Abu Dawud (فِي الْقَاضِي يُخْطِئُ, juz: 9, hal: 464, no: 3103)
d.      Kitab Hadits: Tirmidzi (مَا جَاءَ فِي الْقَاضِي يُصِيبُ وَيُخْطِئُ, juz: 5, hal: 160, no: 1248)
e.       Kitab Hadits: Nasa'i (الْإِصَابَةُ فِي الْحُكْمِ, juz: 16, hal: 212, no: 5286)
f.       Kitab Hadits: ibnu Majah (الْحَاكِمِ يَجْتَهِدُ فَيُصِيبُ الْحَقَّ, juz: 7, hal: 103, no: 2306)
g.      Kitab Hadits: Ahmad: (مُسْنَدُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ, juz: 14, hal: 4, no: 6466),

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan:
a.  Keutamaan orang yang berkiprah dalam peradilan dan mengetahui kebenaran dan menetapkan hukuman berdasarkan kebenaran tersebut, dan ancaman api neraka bagi hakim yang mengetahui kebenaran tetapi tidak menetapkan hukum berdasarkan kebenaran tersebut.
  1. Larangan terhadap seorang hakim untuk memutuskan suatu permasalahan dalam kondisi marah, karena kondisi seperti itu dapat mengeluarkan seorang hakim dari pandangan yang tidak benar dan tepat serta mengeluarkannya dari kestabilan kondisi,sehingga tidak dapat berfikir dan berijtihad.
c. Nabi SAW membenarkan dan mengizinkan penggunaan pertimbangan akal dalam memutuskan permasalahan apabila keputusan tersebut tidak didapatkan di dalam Al-qur'an dan As-sunnah secara eksplisit.


[1] Sunan Abu Dawud, فِي الْقَاضِي يُخْطِئُ, juz IX, hal: 463, no: 3102
[2] http://rosanakaryamandiri.blogspot.com/2010/09/tiga-tipe-hakim-hadits-ahkam.html#-1.
[3] Sunan Tirmidzi, مَا جَاءَ لَا يَقْضِي الْقَاضِي وَهُوَ غَضْبَانُ, juz V, hal: 171, no: 1254
[4] http://rosanakaryamandiri.blogspot.com/2010/09/tiga-tipe-hakim-hadits-ahkam.html#-1.
[5] Sunan Tirmidzi, مَا جَاءَ فِي الْقَاضِي يُصِيبُ وَيُخْطِئُ, juz V, hal: 160, no: 1248
[6] http://blogspot.com/2011/04=ijtihad_hakim_dalam_perspektif_undang-undang.html.


Friday, January 10, 2014

Makalah Studi Hadits

Makalah Hadits
PENGERTIAN dan STRUKTUR HADITS


BAB I
PENDAHULUAN
1.1.         Latar Belakang
Selain Al-Qur’an, Hadits mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari bagi umat Islam. Dalam struktur hirarki sumber hukum Islam, hadits bagi ummat Islam menempati urutan kedua sesudah al-Qur’an. Karena disamping sebagai ajaran Islam yang secara langsung terkait dengan keharusan menaati Rasulullah SAW, juga karena fungsinya sebagai penjelas (bayan) bagi ungkapan-ungkapan al-Qur’an yang mujmal, muthlaq, ‘amm dan sebagainya.
Pada masa Nabi masih hidup, Hadits belum ditulis dan berada dalam benak atau hafalan para sahabat. Para sahabat belum merasa ada urgensi untuk melakukan penulisan mengingat Nabi masih mudah dihubungi untuk dimintai keterangan-keterangan tentang segala sesuatu.
Kebanyakan orang sudah mengetahui hadits. Akan tetapi, sebagian besar mereka belum mengetahui darimana hadits tersebut dan apakah hadits tersebut. Untuk mengetahui semua itu, kita perlu mempelajari pengertian dan struktur hadits. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai pengertian hadits dan struktur hadits.
1.2.         Rumusan Masalah
Menilik latar belakang diatas, maka dapat dijabarkan permasalahan sebagai berikut:
1)      Apakah pengertian hadits itu?
2)      Apa saja struktur hadits itu?

BAB II
PEMBAHASAN
2.1.        Pengertian Hadits
Hadits secara bahasa berarti berita atau kabar. Dalam istilah berita yang dimaksud adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, keadaan dan himmah (hasrat).[1]
a.       Pengertian hadits menurut Ahli Hadits, ialah:
أقواله صلى الله عليه وسلم وأفعاله وأحواله.
Artinya:
“Segala perkataan Nabi, perbuatan, dan hal ihwalnya”.[2]
Yang dimaksud dengan hal ihwal ialah segala yang diriwayatkan dari Nabi SAW. Yang berkaitan dengan himmah, karakteristik, sejarah kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaan beliau.
b.      Pengertian hadis menurut para ulama ushul, adalah:
لُهُ واَفْعَا لُهُ وتََقْرِِيْرَاتُهُ التى تَثْبُتُ الأََ حْكاَمُ و تُقَرَِّرُهاَ أَقْوَا
Artinya:
“Segala perkataan Nabi SAW, perbuatan, dan taqrirnya yang berkaitan dengan hukum syara’ dan ketetapannya”.[3]
Berdasarkan pengertian hadis menurut ahli ushul ini jelas bahwa hadits adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Saw. baik ucapan, perbuatan maupun ketetapan yang berhubungan dengan hukum atau ketentuan-ketentuan Allah yang disyari’atkan kepada manusia, sesuatu yang berkaitan dengan misi dan ajaran Allah yang diemban oleh Nabi Muhammad SAW. sebagai Rasul. Inipun, menurut mereka harus berupa ucapan dan perbuatan beliau serta ketetapan-ketetapannya. Sedangkan kebiasaan-kebiasaannya, tata cara berpakaian, cara tidur dan sejenisnya merupakan kebiasaan manusia dan sifat kemanusiaan tidak dapat dikategorikan sebagai hadits.[4]
Hadits berfungsi untuk menjelaskan hukum-hukum islam dan menafsirkan ayat-ayat Al-Qur`an hanya mengenai pokok-pokok hukum saja yang memang membutuhkan penjelasan yang lebih luas. Hal itu sesuai dengan firman Allah dalam Surat An-Nahl: 44.
!$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍköŽs9Î) öNßg¯=yès9ur šcr㍩3xÿtGtƒ ÇÍÍÈ
Artinya:

Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur`an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (Q.S. An-Nahl: 44)
Perbedan-perbedaan pandangan itu lebih disebabkan oleh terbatas dan luasnya objek tinjauan masing-masing, yang tentu saja mengandung kecenderungan pada aliran ilmu yang dialaminya. Dari pengertian diatas, terdapat empat unsur di dalam hadits nabi, yaitu Perkataan nabi, Perbuatan nabi, Pernyataan nabi dan Sifat-sifat nabi.
Penulisan hadits baru dimulai pada abad ke-2 H. Pada masa Nabi, penulisan hadits sangat dilarang karena khawatir akan bercampur dengan Al-Qur`an dan berpotensi dipalsukan oleh orang-orang yang tidak suka dengan Islam.
a.      Perkataan Nabi
Perkataan Nabi adalah perkataan yang pernah diucapkan oleh Nabi SAW mengenai berbagai bidang kehidupan, seperti bidang hukum (syariat), akhlak, akidah, dan pendidikan. Contoh perkataan beliau yang mengandung hukum syariat adalah hadits: “Sesungguhnya segala amal perbuatan itu tergantung pada niatnya”. (HR. Bukhari Muslim). Dari hadits tersebut dapat kita pahami bahwa jika amal perbuatan seseorang ingin mendapat pengakuan dari syara`, maka harus diiringi dengan niat untuk mendapatkan pengakuan tersebut.[5]
Adapun contoh perkataan Nabi yang mengandung akhlak, misalnya sabda beliau: “Perhatikan tiga hal berikut. Barangsiapa sanggup menghimpunnya, niscaya ia akan mendapat iman yang sempurna, yaitu: jujur pada diri sendiri, mengucapkan salam perdamaian kepada seluruh dunia, dan mendermakan apa yang menjadi kepentingen umum”. (HR. Bukhari). Sabda Nabi tersebut menganjurkan kita untuk senantiasa berakhlak luhur, jujur, cinta perdamaian, dan dermawan.[6]
b.      Perbuatan Nabi
Perbuatan Nabi adalah praktek-praktek keseharian Nabi. Praktek Nabi bertujuan untuk menjelaskan peraturan-peraturan syariat yang masih belum jelas cara pelaksanaannya. Contohnya adalah cara shalat. Shalat adalah perintah Allah kepada umat Islam, tetapi umat Islam tidak tahu mengenai tatacara shalat. Di dalam Al-Qur`an juga tidak disebutkan secara jelas mengenai tatacara shalat. Disinilah perbuatan Nabi bertindak sebagai penjelas terhadap aturan Al-Qur`an. Beliau mempraktekkan tatacara shalat yang benar. Praktek shalat Nabi ini lalu ditunjukkan di hadapan para sahabat. Setelah itu sahabat meriwayatkannya kepada generasi selanjutnya hingga sampai ke zaman kita.[7]
c.       Taqrir (Pernyataan) Nabi
Taqrir (pernyataan) Nabi adalah suatu keadaan di waktu Nabi mendiamkan dan tidak melontarkan sanggahan terhadap kejadian yang ada di hadapan beliau. Secara tidak langsung, beliau tidak melarang terjadinya praktek tersebut, tetapi juga tidak memerintahkannya. Contoh taqrir Nabi terhadap perbuatan sahabat yang dilakukan di hadapan beliau adalah peristiwa berikut:
Suatu hari, Khalid bin Walid menyajikan masakan daging biawak dan mempersilahkan Nabi untuk menikmatinya bersama para undangan lain. Apa jawaban beliau ketika dipersilahkan untuk menikmati hidangan tersebut? “Tidak, karena binatang ini tidak terdapat di kampung kaumku, dan aku jijik kepadanya.”. Khalid berkata: “Setelah Nabi berkata begitu, aku segera memotong daging biawak tersebut dan memakannya, sedang Nabi hanya melihatku”. (H.R Bukhori Muslim).[8]
Tindakan Khalid dan para sahabat memakan daging biawak tersebut disaksikan oleh Nabi, namun beliau tidak melarangnya. Kalau saja daging biawak itu haram dimakan, tentu sejak awal beliau tidak memperkenankan untuk dimakan. Tetapi berhubung daging biawak halal dimakan, beliau mendiamkan para sahabat menikmatinya. Keengganan beliau untuk menikmatinya lebih disebabkan beliau tidak terbiasa memakannya, sehingga merasa jijik.
Akan tetapi, tidak semua diamnya Nabi terhadap perkataan dan perbuatan yang dilakukan para sahabat berarti taqrir. Ada syarat tertentu yang menyertainya, yaitu sahabat tersebut taat dalam beragama. Sebab diamnya Nabi terhadap tindakan dan ucapan orang munafik bukan berarti persetujuan. Seringkali Nabi mendiamkan apa yang dilakukan oleh orang munafik, karena beliau tahu bahwa sanggahan dan ucapan beliau tidak akan memberi manfaat bagi mereka.[9]
d.      Sifat-Sifat dan Himmah (Hasrat) Nabi SAW
Sifat dan keadaan Nabi antara lain:
1.      Sifat-sifat beliau yang dilukiskan oleh para para sahabat dan ahli tarikh (sejarah). Misalnya, sifat dan bentuk jasmaniah beliau dilukiskan sebagai berikut: “Rasulullah SAW adalah sebaik-baik manusia dalam hal paras muka dan bentuk tubuhnya. Beliau  tidak terlalu tinggi dan tidak pula terlalu pendek”. (H.R Bukhari Muslim).
2.      Himmah (hasrat) beliau yang belum sempat direalisasikan. Misalnya hasrat beliau untuk berpuasa pada tanggal 9 `asyura seperti yang diriwayatkan Ibnu Abbas berikut: “Dikala Nabi berpuasa pada hari `asyura dan memerintahkan untuk berpuasa pada hari itu, para sahabat menghadap beliau dan berkata: ‘Ya Rasulullah, hari ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nasrani’. Rasulullah menjawab: ‘insya Allah, tahun yang akan dating aku akan berpuasa pada tanggal sembilannya’”. (H.R Muslim dan Abu Dawud). Tetapi beliau tidak sempat menjalankan puasa pada tanggal 9 tersebut di tahun depannya, karena beliau wafat. Menurut Imam Syafi`I, menjalankan Himmah Nabi itu disunnahkan, karena termasuk salah satu bagian sunnah, yakni sunnah hammiyah.[10]

2.2.        Struktur Hadits
Kebenaran suatu berita sangat ditentukan oleh kualitas pewarta, yang darinya suatu berita diterima. Jika pewarta bertingkat-tingkat, maka pewarta terakhir harus mampu menunjukan kesinambungan urutan pewarta sebelumnya sampai kepewarta pertama, yang mengantarkan berita tersebut hingga sampai kepada dirinya.
Demikian halnya untuk menerima hadits dari Nabi SAW, unsur-unsur tersebut satupun tidak dapat ditinggalkan. Unsur-unsur hadits tersebut yakni pewarta (rawi), materi berita (matnul hadits) dan sandaran berita (sanad).
a.      Rawi Hadits
Kata perawi atau al-Rawi dalam bahasa Arab dari kata riwayat yang berarti memindahkan atau menukilkan, yakni memindahkan suatu berita dari seseoarang kepada orang lain. Dalam istilah hadis, al-Rawi adalah orang yang meriwayatkan hadis dari seorang guru kepada orang lain yang tercantum dalam buku hadis. Jadi, nama-nama yang terdapat dalam sanad disebut rawi, seperti:
حدثنا الحميدي عبد الله بن الزبير قال حدثنا سفيان قال حدثنا يحيى بن سعيد الأنصارى قال أخبرني محمد بن إبراهيم التيمي أنه سمع علقمة بن وقاص الليثي يقول سمعت عمر بن الخطاب رضي الله عنه على المنبر…
Sebenarnya antara rawi dan sanad merupakan dua istilah yang tidak dapat dipisahkan karena sanad hadits pada setiap generasi terdiri dari beberapa perawi. Singkatnya sanad itu lebih menekankan pada mata rantai/silsilah sedangkan rawi adalah orang yang terdapat dalam silsilah tersebut.[11]
Sebuah hadits sampai kepada kita dalam bentuk yang sudah tersusun rapi dan dibukukan. Seorang pengarang kitab jika hendak menguatkan suatu hadits yang dinukil dari kitab hadits pada umumnya membubuhkan nama rawi terakhir pada akhir matan hadits.
b.      Matan Hadits
Matan, berasal dari bahasa Arab yang memiliki makna “punggung jalan” atau bagian tanah yang keras dan menonjol ke atas. Apabila dirangkai menjadi kalimat matn al-hadits maka definisinya adalah:
 “Kata-kata hadits yang dengannya terbentuk makna-makna”.[12]
Dapat juga diartikan sebagai apa yang berhenti dari sanad berupa perkataan. Adapun matan hadis itu terdiri dari dua elemen yaitu teks atau lafal dan makna (konsep), sehingga unsur-unsur yang harus dipenuhi oleh suatu matan hadis yang sahih yaitu terhindar dari syadz (suatu kejanggalan yang dapat menciderai derajat kualitas suatu hadits) dan ’illat (sifat-sifat buruk yang menciderai keshahihan suatu hadits).
Contoh:
“Amal-amal perbuatan itu hanya tergantung niatnya dan setiap orang akan mendapatkan apa yang dia niatkan...”
Membicarakan matan hadits harus bertolak dari sejarah. Pada zaman Nabi tidak seluruh hadits ditulis oleh para sahabat Nabi. Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh sahabat kepada periwayat lain lebih banyak berlangsung secara oral (lisan).
c.       Sanad hadits
Secara bahasa, sanad berarti sesuatu yang kita bersandar padanya baik tembok atau selainnya, bisa juga berarti penggabungan sesuatu ke sesuatu yang lain, karena di dalamnya tersusun banyak nama yang tergabung dalam satu rentetan jalan. Bisa juga berarti pegangan. Dinamakan demikian karena hadis merupakan sesuatu yang menjadi sandaran dan pegangan.[13]
Secara terminologi, sanad adalah jalan yang dapat menghubungkan matan hadis sampai kepada Nabi Muhammad saw. Dengan kata lain, sanad adalah rentetan perawi-perawi (beberapa orang) yang sampai kepada matan hadis.[14]
Contoh:
 “Al-Humaidi ibn al-Zubair telah menceritakan kepada kami seraya berkata, Sufyan telah menceritakan kepada kami seraya berkata, Yahya ibn Sa’id al-Anshari telah menceritakan kepada kami seraya berkata, Muhammad ibn Ibrahim al-Taimi telah memberitakan kepada saya bahwa dia mendengar ‘Alqamah ibn Waqqash al-Laisi berkata “saya mendengar Umar ibn al-Khaththab ra berkata di atas mimbar “Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda…”.[15]
Untuk memahami tentang sanad hadits perlu lebih dulu memahami riwayat Hadits. Dalam istilah, Al-Riwayah Al-Hadits adalah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadits, serta menyandarkan hadits itu pada mata rantai para periwayat (rowi)nya dengan bentuk-bentuk tertentu. Orang yang telah menerima hadits dari periwayat tetapi ia tidak menyampaikan hadits itu kepada orang lain, maka ia tidak dapat disebut sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadits.[16]
Dengan demikian ada tiga unsur yang harus dipenuhi dalam periwayatan hadits, yaitu:
a.       Kegiatan menerima hadits dari periwayat hadits
b.      Kegiatan menyampaikan hadits itu kepada orang lain
c.       Ketika hadits itu disampaikan, maka susunan rantai periwayatan disebutkan.[17]

BAB III
PENUTUP
3.1.      Kesimpulan
a.       Hadits secara bahasa berarti berita atau kabar. Dalam istilah berita yang dimaksud adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, keadaan dan himmah (hasrat).
b.      Di dalam hadits terdapat empat unsur yaitu Perkataan nabi, Perbuatan nabi, Pernyataan nabi dan Sifat-sifat nabi
c.       Unsur-unsur pokok hadits yakni pewarta (rawi), materi berita (matnul hadits) dan sandaran berita (sanad).

3.2.      Saran
Kami sebagai manusia tak lepas dari kekhilafan dan kesalahan walaupun kami telah berusaha sekuat tenaga dan fikiran untuk membuat makalah sesempurna mungkin. Makalah ini tentu masih banyak kekurangan dan kesalahannya. Maka dari itu, selaku penyusun kami mengharap kritik yang membangun dari berbagai pihak untuk kesempurnaan makalah ini.


[1] Dzulmaini. Mengenal Kitab-Kitab Hadits (Yogyakarta: Insan Madani, 2008), hal: 1
[2] Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Hadis (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2002), hal: 56
[4] Ibid.
[5] Dzulmaini, Op. Cit, hal: 2
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Ibid, hal: 4
[12] Al-Damini, Maqayis Naqd Mutun  al-Sunnah (Riyadh: Jami’ah Ibn Sa’ud, 1984) hal: 50
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[16] Dzulmaini, Op.Cit, hal: 12
[17] Ibid.