PERADILAN (HAKIM)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keberadaan hakim
ditengah-tengah masyarakat beradab merupakan suatu keniscayaan. Karena persoalan-persoalan yang sudah pasti
timbul di masyarakat memerlukan suatu perangkat yang
diharapkan dapat memecahkan dan
menyelesaikan masalah tersebut dengan jaminan kepastian.
Hakim dan lembaga
peradilannya merupakan salah satu unsur utama dalam upaya menyelesaikan
persoalan-persoalan masyarakat tersebut disamping dalam
upaya melestarikan kondisi kondusif dalam masyarakat itu sendiri. Karena peranannya yang demikian strategis,
maka kedudukan hakim, baik menurut
Tuhan ataupun manusia, sesungguhnya sangat mulia.
Hal ini disamping dikarenakan
pertimbangan-petimbangan tersebut juga secara
tegas dipuji oleh Syari` dengan ungkapan-ungkapan anatara lain:
÷bÎ)ur |MôJs3ym
Nä3÷n$$sù NæhuZ÷t/ ÅÝó¡É)ø9$$Î/
4 ¨bÎ)
©!$#
=Ïtä
tûüÏÜÅ¡ø)ßJø9$#
Artinya:
Dan jika kamu memutuskan
perkara mereka, Maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil,
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil. (Al-Maidah: 42).
B. Rumusan Masalah
Adapun masalah-masalah yang dikembangkan penulis dalam
makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Tiga tipe hakim
2.
Perlunya kestabilan jiwa hakim
3.
Ijtihad hakim
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tiga Tipe Hakim
1.
Hadtis
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ حَسَّانَ السَّمْتِيُّ حَدَّثَنَا خَلَفُ بْنُ خَلِيفَةَ عَنْ
أَبِي هَاشِمٍ عَنْ ابْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ، عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ، قَالَ: الْقُضَاةُ ثَلاَثَةٌ: وَاحِدٌ فِى
الْجَنَّةِ واثْنَانِ فِى النَّارِ، فَاَمَّا الَّذِى فِى الْجَنَّةِ: فَرَجُلٌ
عَرَفَ الْحَقَّ فَقَضَى بِهِ، وَرَجُلٌ عَرَفَ الْحَقَّ فَجَارَ فِى الْحُكْمِ،
فَهُوَ فِى النَّارِ، وَرَجُلٌ قَضَى لِلنَّاسِ عَلَى جَهْلٍ فَهُوَ فِى النَّارِ.
(أَبُو دَاوُد).
2.
Terjemah:
Muhammad bin Hasan as-Samtiy menceritakan kepada kami, Khalaf bin Khalifah menceritakan
kepada kami, dari Abi Hasyim, dari ibn Buraidah, dari ayahnya, dari nabi SAW,
beliau bersabda: "Hakim itu tiga. Satu di surga, sedang yang dua di
neraka. Hakim yang di surga ialah: Seorang yang mengetahui kebenaran,
lalu memutuskan hukum dengan kebenaran itu. Sedangkan seorang hakim yang
mengetahui kebenaran, lalu dia berlaku alim (menyimpang dari kebenaran), maka
dia di neraka. Demikian pula seorang yang menentukan hukum kepada umat manusia,
padahal dia tidak tahu, maka dia adalah di dalam neraka. (H.R Abu Dawud).[1]
3.
Penjelasan
Islam sangat menghormati dan
sangat mengangkat derajat orang-orang yang berilmu dengan derajat yang tinggi
serta menganggap mereka sebagai pemelihara atau penjaga para Rasul selama mereka tidak
memfokuskan tujuan keilmuannya semata-mata untuk memperoleh kehidupan duniawi.
Apabila tujuan mereka adalah memperoleh kehidupan dunia, mereka telah mengkhianati
para Rasul, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadis yang artinya: "Hormatilah
para ulama, sebab mereka adalah pewaris para Rasul. Barang siapa yang
menghormati mereka, maka berarti mereka telah menghormati Allah dan Rasul-Nya.
(H.R. Khatib dari Jabir). [2]
4.
Kandungan Hadits
·
Di dalam hadits di atas
terdapat penjelasan tentang keutamaan orang yang berkiprah dalam peradilan dan
mengetahui kebenaran dan menetapkan hukuman berdasarkan kebenaran tersebut,
·
Ancaman api neraka bagi
hakim yang mengetahui kebenaran, tetapi tidak menetapkan hukum berdasarkan
kebenaran tersebut.
·
Perumpamaan hakim yang
mengetahui kebenaran, tetapi tidak menetapkan hukum berdasarkan kebenaran itu, bagaikan orang
bodoh yag menetapkan hukum dengan kebodohannya dan kedudukannya adalah di
neraka.
·
Keputusan hakim yang tidak
diberlakukan adalah keputusan hakim kelompok pertama, yakni hakim yang
mengetahui kebenaran dan menetapkan hukum berdasarkan kebenaran tersebut.
5.
Takhrij Hadits
1. Kitab hadits: Abu Dawud (فِي الْقَاضِي
يُخْطِئُ, juz: 9, hal: 463,
no: 3102)
2. Kitab hadits: Tirmidzi (مَا جَاءَ عَنْ
رَسُولِ اللَّهِ صلَّمَ فِي مَنْعِ الزَّكَاةِ مِنْ التَّشْدِيدِ, juz: 5, hal: 155, no: 1244)
3. Kitab hadits: ibnu Majah (الْحَاكِمِ
يَجْتَهِدُ فَيُصِيبُ الْحَقَّ,
juz: 7, hal: 104, no: 2306)
B. Perlunya Kestabilan Jiwa Hakim
1. Hadits
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ
عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ عُمَيْرٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرَةَ
قَالَ، كَتَبَ أَبِي إِلَى عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرَةَ وَهُوَ قَاضٍ
أَنْ لَا تَحْكُمْ بَيْنَ اثْنَيْنِ وَأَنْتَ غَضْبَانُ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا يَحْكُمْ الْحَاكِمُ
بَيْنَ اثْنَيْنِ وَهُوَ غَضْبَانُ. (رراه الترمذى)
2.
Terjemah
Qutaibah bin Sa'id menceritakan kepada kami, Abu Awanah menceritakan kepada
kami dari Abdul Malik bin Umair dari Abdurrahman bin Abi Bakrah, ia berkata:
Ayahku menulis pesan kepada Ubaidillah bin Abi Bakrah dan ia adalah qadhi, agar
tidak memutus perkara antara dua orang yang bersengketa, dan kamu dalam keadaan
marah, karena saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: "Janganlah hakim
memutus perkara antara dua orang sengketa, sementara dia masih dalam situasi
marah". (H.R
Tirmidzi)[3]
3.
Penjelasan
Keadilan adalah faktor penopang kemakmuran
dan pembangkit ketenangan jiwa. Melalui keadilan kebenaran dapat
ditegakkan dan kebatilan dapat dihancurkan. Hal ini karena dibawah lindungan
keadilan itulah, orang yang lemah merasa terlindungi dan terlepas dari
pemerasan dan kekuasaan tangan-tangan zalim. Di bawah
lindungan keadilan, orang lemah dapat menjadi kuat dalam menghadapi kebathilan
yang dilancarkan oleh orang-orang kuat yang zalim dan di bawah sinar keadilan
itu pula di daam kehidupan dapat menjanjikan kebahagiaan. Sebaliknya, di bawah
kekuatan sinar keadilan ini pula, gema penyimpangan dan penyelewengan menjadi
sirna.
Kenyataan ini dapat
terealisasikan kalau pelaku keadilan itu berada di dalam kondisi sadar terhadap
berbagai pengaduan dan pengakuan yang dihadapkan kepadanya sehingga ia dapat
bersikap penuh objektif yag akurat, analisis yang cermat, terbebas dari
unsur-unsur penyimpangan yang dapat memutarbalikkan keadaan, tidak tergoyahkan
oleh hawa nafsu, tidak tertawan oleh perasaan cintanya, terbebas dari
kecenderungan dan kepentingan tertentu yag dapat merusak keadilan dan
menimbulkan ketidak tentraman dan gejolak ketidakpuasan di antara sesama
manusia.
Oleh karena itu, pelaku penegak
keadilan seperti hakim harus memelihara diri dari kondisi tertentu dan sikap
tertentu yang dapat mendorong dirinya untuk berbuat tidak adil dalam memutus
suatu pengaduan dan pengakuan yang disampaikan oleh para pencari keadilan.
Umpamanya seorang pelaku penegak keadilan tidak diperkenankan dan memaksakan
dirinya untuk memutus sebuah pengaduan dalam kondisi emosi yang tidak stabil,
dalam kondisi marah sebagaimana tercantum dalam hadits di atas atau
kondisi-kondisi ketidakstabilan lainnya.[4]
4.
Kandungan Hadits
· Hadits di atas menyatakan larangan terhadap seorang
hakim untuk memutuskan suatu permasalahan dalam kondisi marah
· Alasan terhadap larangan tersebut karena kondisi
seperti itu dapat mengeluarkan seorang hakim dari pandangan yang tidak benar
dan tepat serta mengeluarkannya dari kestabilan kondisi,sehingga tidak dapat
berfikir dan berijtihad.
· Para ulama juga memasukkan kondisi-kondisi lainnya
yang mengeluarkan seorang hakim dari pandangan yang benar dan tepat serta
mengeluarkannya dari estabilan kondisi seperti lapar atau kenyang dan perasaan
yang sedih yang berlebihan.
· Di dalam hadis tersebut tersirat perintah untuk
saling memberikan nasihat di antara sesama muslim dalam rangka memperbaiki
kestabilan kondisi mereka, terlebih lagi bagi para pemimpin penegak keadilan.
· Seorang hakim apabila memutuskan suatu permasalahan
dalam kondisi tertentu dari kondisi-kondisi tersebut di atas dengan benar, maka
keputusannya dapat di terima. Dengan kata lain, larangan untuk memberikan
keputusan dalam kondisi di atas hanyalah merupakan tindakan antisipasi dan
kehati-hatian.
5.
Pohon Sanad
![]() |
6.
Takhrij Hadits
1. Kitab hadits: Muslim (كَرَاهَةِ قَضَاءِ
الْقَاضِي وَهُوَ غَضْبَانُ,
juz: 9, hal: 116, no: 3241)
2. Kitab hadits: Tirmidzi (مَا جَاءَ لَا
يَقْضِي الْقَاضِي وَهُوَ غَضْبَانُ,
juz: 5, hal: 171, no: 1254)
3. Kitab Hadits: Nasa'i (ذِكْرُ مَا
يَنْبَغِي لِلْحَاكِمِ أَنْ يَجْتَنِبَهُ, juz: 16, hal: 252, no: 5311)
4. Kitab Hadits: Ahmad (حَدِيثُ أَبِي
بَكْرَةَ نُفَيْعِ بْنِ الْحَارِثِ بْنِ كَلَدَةَ, juz: 41, hal: 426, no: 19567)
C. Ijtihad hakim
1. Hadits
حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ مَهْدِيٍّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ
أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ عَنْ
أَبِي بَكْرِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا حَكَمَ
الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَأَخْطَأَ
فَلَهُ أَجْرٌ وَاحِدٌ. (رراه الترمذى)
2. Terjemah
Husain bin Mahdi menceritakan kepada kami, Abdurrazaq menceritakan kepada
kami, Ma'mar menceritakan kepada kami dari Sofyan ats-Tsauri dari Yahya bin
Sa'id dari Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm dari Abu Salamah dari Abu
Hurairah berkata: Rasulullah SAW bersabda: "Ketika hakim memutus hukuman
dengan bersungguh-sungguh dan benar (putusannya), maka baginya dua pahala. Dan
ketika hakim memutus dan ternyata dia salah, maka baginya satu pahala". (H.R Tirmidzi)[5]
3.
Penjelasan
Ijtihad menurut bahasa
adalah mengerahkan segenap kemampuan untuk mewujudkan perkara
yang berat dan sulit. Sedangkan ijtihad menurut istilah ahli ushul fiqh adalah
upaya mengerahkan segenap kemampuan dalam rangka mencari (dengan dugaan kuat)
hukum syara', sampai dia merasa tidak mampu lagi untuk berbuat lebih dari yang
telah diusahakan.
Mujtahid harus memenuhi dua
syarat yaitu:
1. Mampu mengetahui ilmu lughah (bahasa) dan nahwu yang
mencukupi
2. Mengetahui dan mengenal sumber-sumber hukum syara'
Ijtihad
itu hukumnya fardhu kifayah. Pada setiap masa tidak boleh kosong dari
keberadaan mujtahid. Apabila suatu kosong di suatu masa dari mujtahid maka kaum
muslim berdosa. dengan adanya seorang mujtahid atau lebih pada satu masa maka
akan menggugurkan kewajiban berijtihad kaum muslimin pada masa itu. Hal ini
bisa ditinjau dari dua aspek:
1. Sesungguhnya nash-nash syariat islam mengharuskan adanya ijtihad
dari kaum muslim, karena nash-nash tersebut tidak datang secara rinci. bahkan nash-nash
terperinci pun tidak mencakup seluruh masalah yang Qath'i.
2.
Adapun aspek kedua, maka
berbagai kejadian di dalam kehidupan ini senantiasa baru dan terus berkembang.
Selama tidak mengerahkan segala kesungguhan untuk menggali hukum yang berkaitan
dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi, maka kita tidak akan bisa menerapkan
hukum syara' terhadapnya. Karena kita mengetahui bahwa nash-nash telah
menunjukkan secara sempurna atas wajibnya menerapkan hukum syara' pada setiap
masalah. Allah swt berfirman dalam surat Al-Maidah ayat 49 yang artinya: "Dan
hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang di turunkan
Allah". (Q.S.Al-Maidah ayat 49).[6]
4. Kandungan Hukum
·
Hadis tersebut menunjukkan bahwa
Nabi SAW membenarkan penggunaan pertimbangan akal dalam memutuskan
permasalahan apabila keputusan tersebut tidak didapatkan di dalam Al-qur'an dan
As-sunnah secara eksplisit.
· Nabi Muhammad SAW mengizinkan untuk
menggunakan pertimbangan akal pikiran dalam masalah-masalah keagamaan.
Perizinan tersebut diundangkan secara terang-terangan dalam haditsnya.
Hadits yang dianggap basis perizinan ijtihad ini adalah sabda nabi kepada Mu'adz
Bin Jabal, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Dawud:
"Hafash Bin Umar telah meriwayatkan kepada
kita yang di terima dari Syu'baauk Himsh, dari para sahabat Mu'adz Bin Jabal
bahwa ketika Rasulullah mengutus Mu'adz ke Yaman, beliau bertanya,"
Bagaimana engkau mengadili permasalahan yang diajukan padamu? Mu'as menjawab: "saya
akan mengadilinya dengan Kitabullah (Al-Qur'an)", Rosulullah SAW bertanya
lagi: "bagaimanaa bila engkau tidak mendapat petunjuk dari Kitabullah?",
Mu'adz menjawab: "saya akan mengadilinya dengan Sunnah Rasulullah SAW".
Rasulullah bertanya lagi: "Bagaimana jika engkau tidak mendapatkan
petunjuk di dalam Sunnah Rasulullah dan dalam Al-Qur'an?", Mu'adz
menjawab: "kalau begitu, saya akan menggunakan pertimbangan akalku
(berijtihad) tanpa membatasinya". Kemudian rasul menepuk punggung Mu'adz
Bin jabal sambil berkata: "Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk
kepada utusan Rasul-Nya sebagaimana yang dikehendaki".
(H.R.Abu Dawud).
5. Takhrij Hadits
a. Kitab Hadits: Bukhari (أَجْرِ
الْحَاكِمِ إِذَا اجْتَهَدَ فَأَصَابَ أَوْ أَخْطَأَ, juz: 22, hal: 335, no: 6805)
b. Kitab Hadits: Muslim (بَيَانِ أَجْرِ
الْحَاكِمِ إِذَا اجْتَهَدَ فَأَصَابَ أَوْ أَخْطَأَ, juz: 9, hal: 114, no: 3240)
c. Kitab Hadits: Abu Dawud (فِي الْقَاضِي
يُخْطِئُ, juz: 9, hal: 464,
no: 3103)
d. Kitab Hadits: Tirmidzi (مَا جَاءَ فِي
الْقَاضِي يُصِيبُ وَيُخْطِئُ,
juz: 5, hal: 160, no: 1248)
e. Kitab Hadits: Nasa'i (الْإِصَابَةُ فِي
الْحُكْمِ, juz: 16, hal: 212,
no: 5286)
f. Kitab Hadits: ibnu Majah (الْحَاكِمِ
يَجْتَهِدُ فَيُصِيبُ الْحَقَّ,
juz: 7, hal: 103, no: 2306)
g. Kitab Hadits: Ahmad: (مُسْنَدُ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ,
juz: 14, hal: 4, no: 6466),
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
penjelasan di atas, dapat disimpulkan:
a. Keutamaan orang yang berkiprah dalam peradilan dan
mengetahui kebenaran dan menetapkan hukuman berdasarkan kebenaran tersebut, dan
ancaman api neraka bagi hakim yang mengetahui kebenaran tetapi tidak menetapkan
hukum berdasarkan kebenaran tersebut.
- Larangan
terhadap seorang hakim untuk memutuskan suatu permasalahan dalam kondisi
marah, karena kondisi seperti itu dapat mengeluarkan seorang hakim dari
pandangan yang tidak benar dan tepat serta mengeluarkannya dari kestabilan
kondisi,sehingga tidak dapat berfikir dan berijtihad.
c. Nabi SAW membenarkan dan
mengizinkan penggunaan pertimbangan akal dalam memutuskan
permasalahan apabila keputusan tersebut tidak didapatkan di dalam Al-qur'an dan
As-sunnah secara eksplisit.
[1] Sunan Abu Dawud, فِي الْقَاضِي يُخْطِئُ, juz IX, hal: 463, no: 3102
[2] http://rosanakaryamandiri.blogspot.com/2010/09/tiga-tipe-hakim-hadits-ahkam.html#-1.
[3] Sunan Tirmidzi, مَا جَاءَ لَا يَقْضِي الْقَاضِي وَهُوَ غَضْبَانُ, juz V, hal: 171, no: 1254
[4] http://rosanakaryamandiri.blogspot.com/2010/09/tiga-tipe-hakim-hadits-ahkam.html#-1.
[5] Sunan
Tirmidzi, مَا جَاءَ فِي الْقَاضِي يُصِيبُ
وَيُخْطِئُ, juz V, hal:
160, no: 1248
[6]
http://blogspot.com/2011/04=ijtihad_hakim_dalam_perspektif_undang-undang.html.