Monday, January 13, 2014

Makalah Hadits Ahkam AS


PERADILAN (HAKIM)




BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah
Keberadaan hakim ditengah-tengah masyarakat beradab merupakan suatu keniscayaan.  Karena persoalan-persoalan yang sudah pasti timbul di masyarakat memerlukan suatu perangkat yang diharapkan  dapat memecahkan dan menyelesaikan masalah tersebut dengan jaminan kepastian.
Hakim dan lembaga peradilannya merupakan salah satu unsur utama dalam upaya menyelesaikan persoalan-persoalan masyarakat tersebut disamping   dalam  upaya melestarikan kondisi kondusif dalam masyarakat itu sendiri.  Karena peranannya yang demikian strategis, maka  kedudukan hakim, baik menurut Tuhan  ataupun manusia, sesungguhnya sangat  mulia.  Hal ini disamping  dikarenakan pertimbangan-petimbangan tersebut juga secara  tegas dipuji oleh Syari` dengan ungkapan-ungkapan anatara lain:
÷bÎ)ur |MôJs3ym Nä3÷n$$sù NæhuZ÷t/ ÅÝó¡É)ø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÏÜÅ¡ø)ßJø9$#
Artinya:
Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, Maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil. (Al-Maidah: 42).

B.       Rumusan Masalah
Adapun masalah-masalah yang dikembangkan penulis dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.    Tiga tipe hakim
2.    Perlunya kestabilan jiwa hakim
3.    Ijtihad hakim

BAB II
PEMBAHASAN
A.      Tiga Tipe Hakim
1.    Hadtis
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ حَسَّانَ السَّمْتِيُّ حَدَّثَنَا خَلَفُ بْنُ خَلِيفَةَ عَنْ أَبِي هَاشِمٍ عَنْ ابْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ، عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ، قَالَ: الْقُضَاةُ ثَلاَثَةٌ: وَاحِدٌ فِى الْجَنَّةِ واثْنَانِ فِى النَّارِ، فَاَمَّا الَّذِى فِى الْجَنَّةِ: فَرَجُلٌ عَرَفَ الْحَقَّ فَقَضَى بِهِ، وَرَجُلٌ عَرَفَ الْحَقَّ فَجَارَ فِى الْحُكْمِ، فَهُوَ فِى النَّارِ، وَرَجُلٌ قَضَى لِلنَّاسِ عَلَى جَهْلٍ فَهُوَ فِى النَّارِ. (أَبُو دَاوُد).
2.    Terjemah:
Muhammad bin Hasan as-Samtiy menceritakan kepada kami, Khalaf bin Khalifah menceritakan kepada kami, dari Abi Hasyim, dari ibn Buraidah, dari ayahnya, dari nabi SAW, beliau bersabda: "Hakim itu tiga. Satu di surga, sedang yang dua di neraka. Hakim yang di surga ialah: Seorang yang mengetahui kebenaran, lalu memutuskan hukum dengan kebenaran itu. Sedangkan seorang hakim yang mengetahui kebenaran, lalu dia berlaku alim (menyimpang dari kebenaran), maka dia di neraka. Demikian pula seorang yang menentukan hukum kepada umat manusia, padahal dia tidak tahu, maka dia adalah di dalam neraka. (H.R Abu Dawud).[1]

3.    Penjelasan
Islam sangat menghormati dan sangat mengangkat derajat orang-orang yang berilmu dengan derajat yang tinggi serta menganggap mereka sebagai pemelihara atau penjaga para Rasul selama mereka tidak memfokuskan tujuan keilmuannya semata-mata untuk memperoleh kehidupan duniawi. Apabila tujuan mereka adalah memperoleh kehidupan dunia, mereka telah mengkhianati para Rasul, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadis yang artinya: "Hormatilah para ulama, sebab mereka adalah pewaris para Rasul. Barang siapa yang menghormati mereka, maka berarti mereka telah menghormati Allah dan Rasul-Nya. (H.R. Khatib dari Jabir). [2]

4.    Kandungan Hadits
·      Di dalam hadits di atas terdapat penjelasan tentang keutamaan orang yang berkiprah dalam peradilan dan mengetahui kebenaran dan menetapkan hukuman berdasarkan kebenaran tersebut,
·      Ancaman api neraka bagi hakim yang mengetahui kebenaran, tetapi tidak menetapkan hukum berdasarkan kebenaran tersebut.
·      Perumpamaan hakim yang mengetahui kebenaran, tetapi tidak menetapkan hukum  berdasarkan kebenaran itu, bagaikan orang bodoh yag menetapkan hukum dengan kebodohannya dan kedudukannya adalah di neraka.
·      Keputusan hakim yang tidak diberlakukan adalah keputusan hakim kelompok pertama, yakni hakim yang mengetahui kebenaran dan menetapkan hukum berdasarkan kebenaran tersebut.

5.    Takhrij Hadits
1.   Kitab hadits: Abu Dawud (فِي الْقَاضِي يُخْطِئُ, juz: 9, hal: 463, no: 3102)
2.   Kitab hadits: Tirmidzi (مَا جَاءَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صلَّمَ فِي مَنْعِ الزَّكَاةِ مِنْ التَّشْدِيدِ, juz: 5, hal: 155, no: 1244)
3.   Kitab hadits: ibnu Majah (الْحَاكِمِ يَجْتَهِدُ فَيُصِيبُ الْحَقَّ, juz: 7, hal: 104, no: 2306)

B.       Perlunya Kestabilan Jiwa Hakim
1.    Hadits
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ عُمَيْرٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ، كَتَبَ أَبِي إِلَى عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرَةَ وَهُوَ قَاضٍ أَنْ لَا تَحْكُمْ بَيْنَ اثْنَيْنِ وَأَنْتَ غَضْبَانُ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا يَحْكُمْ الْحَاكِمُ بَيْنَ اثْنَيْنِ وَهُوَ غَضْبَانُ. (رراه الترمذى)

2.    Terjemah
Qutaibah bin Sa'id menceritakan kepada kami, Abu Awanah menceritakan kepada kami dari Abdul Malik bin Umair dari Abdurrahman bin Abi Bakrah, ia berkata: Ayahku menulis pesan kepada Ubaidillah bin Abi Bakrah dan ia adalah qadhi, agar tidak memutus perkara antara dua orang yang bersengketa, dan kamu dalam keadaan marah, karena saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: "Janganlah hakim memutus perkara antara dua orang sengketa, sementara dia masih dalam situasi marah". (H.R Tirmidzi)[3]

3.    Penjelasan
Keadilan adalah faktor penopang kemakmuran dan pembangkit ketenangan jiwa. Melalui keadilan kebenaran dapat ditegakkan dan kebatilan dapat dihancurkan. Hal ini karena dibawah lindungan keadilan itulah, orang yang lemah merasa terlindungi dan terlepas dari pemerasan dan kekuasaan tangan-tangan zalim. Di bawah lindungan keadilan, orang lemah dapat menjadi kuat dalam menghadapi kebathilan yang dilancarkan oleh orang-orang kuat yang zalim dan di bawah sinar keadilan itu pula di daam kehidupan dapat menjanjikan kebahagiaan. Sebaliknya, di bawah kekuatan sinar keadilan ini pula, gema penyimpangan dan penyelewengan menjadi sirna.
Kenyataan ini dapat terealisasikan kalau pelaku keadilan itu berada di dalam kondisi sadar terhadap berbagai pengaduan dan pengakuan yang dihadapkan kepadanya sehingga ia dapat bersikap penuh objektif yag akurat, analisis yang cermat, terbebas dari unsur-unsur penyimpangan yang dapat memutarbalikkan keadaan, tidak tergoyahkan oleh hawa nafsu, tidak tertawan oleh perasaan cintanya, terbebas dari kecenderungan dan kepentingan tertentu yag dapat merusak keadilan dan menimbulkan ketidak tentraman dan gejolak ketidakpuasan di antara sesama manusia.
Oleh karena itu, pelaku penegak keadilan seperti hakim harus memelihara diri dari kondisi tertentu dan sikap tertentu yang dapat mendorong dirinya untuk berbuat tidak adil dalam memutus suatu pengaduan dan pengakuan yang disampaikan oleh para pencari keadilan. Umpamanya seorang pelaku penegak keadilan tidak diperkenankan dan memaksakan dirinya untuk memutus sebuah pengaduan dalam kondisi emosi yang tidak stabil, dalam kondisi marah sebagaimana tercantum dalam hadits di atas atau kondisi-kondisi ketidakstabilan lainnya.[4]

4.    Kandungan Hadits
·      Hadits di atas menyatakan larangan terhadap seorang hakim untuk memutuskan suatu permasalahan dalam kondisi marah
·      Alasan terhadap larangan tersebut karena kondisi seperti itu dapat mengeluarkan seorang hakim dari pandangan yang tidak benar dan tepat serta mengeluarkannya dari kestabilan kondisi,sehingga tidak dapat berfikir dan berijtihad.
·      Para ulama juga memasukkan kondisi-kondisi lainnya yang mengeluarkan seorang hakim dari pandangan yang benar dan tepat serta mengeluarkannya dari estabilan kondisi seperti lapar atau kenyang dan perasaan yang sedih yang berlebihan.
·      Di dalam hadis tersebut tersirat perintah untuk saling memberikan nasihat di antara sesama muslim dalam rangka memperbaiki kestabilan kondisi mereka, terlebih lagi bagi para pemimpin penegak keadilan.
·      Seorang hakim apabila memutuskan suatu permasalahan dalam kondisi tertentu dari kondisi-kondisi tersebut di atas dengan benar, maka keputusannya dapat di terima. Dengan kata lain, larangan untuk memberikan keputusan dalam kondisi di atas hanyalah merupakan tindakan antisipasi dan kehati-hatian.

5.    Pohon Sanad
 


















6.    Takhrij Hadits
1.   Kitab hadits: Muslim (كَرَاهَةِ قَضَاءِ الْقَاضِي وَهُوَ غَضْبَانُ, juz: 9, hal: 116, no: 3241)
2.   Kitab hadits: Tirmidzi (مَا جَاءَ لَا يَقْضِي الْقَاضِي وَهُوَ غَضْبَانُ, juz: 5, hal: 171, no: 1254)
3.   Kitab Hadits: Nasa'i (ذِكْرُ مَا يَنْبَغِي لِلْحَاكِمِ أَنْ يَجْتَنِبَهُ, juz: 16, hal: 252, no: 5311)
4.   Kitab Hadits: Ahmad (حَدِيثُ أَبِي بَكْرَةَ نُفَيْعِ بْنِ الْحَارِثِ بْنِ كَلَدَةَ, juz: 41, hal: 426, no: 19567)

C.      Ijtihad hakim
1.    Hadits
حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ مَهْدِيٍّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ وَاحِدٌ. (رراه الترمذى)

2.    Terjemah
Husain bin Mahdi menceritakan kepada kami, Abdurrazaq menceritakan kepada kami, Ma'mar menceritakan kepada kami dari Sofyan ats-Tsauri dari Yahya bin Sa'id dari Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm dari Abu Salamah dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah SAW bersabda: "Ketika hakim memutus hukuman dengan bersungguh-sungguh dan benar (putusannya), maka baginya dua pahala. Dan ketika hakim memutus dan ternyata dia salah, maka baginya satu pahala". (H.R Tirmidzi)[5]

3.    Penjelasan
Ijtihad  menurut bahasa adalah mengerahkan segenap kemampuan untuk mewujudkan perkara yang berat dan sulit. Sedangkan ijtihad menurut istilah ahli ushul fiqh adalah upaya mengerahkan segenap kemampuan dalam rangka mencari (dengan dugaan kuat) hukum syara', sampai dia merasa tidak mampu lagi untuk berbuat lebih dari yang telah diusahakan.
Mujtahid harus memenuhi dua syarat yaitu:
1.    Mampu mengetahui ilmu lughah (bahasa) dan nahwu yang mencukupi
2.    Mengetahui dan mengenal sumber-sumber hukum syara'
Ijtihad itu hukumnya fardhu kifayah. Pada setiap masa tidak boleh kosong dari keberadaan mujtahid. Apabila suatu kosong di suatu masa dari mujtahid maka kaum muslim berdosa. dengan adanya seorang mujtahid atau lebih pada satu masa maka akan menggugurkan kewajiban berijtihad kaum muslimin pada masa itu. Hal ini bisa ditinjau dari dua aspek:

1.    Sesungguhnya nash-nash syariat islam mengharuskan adanya ijtihad dari kaum muslim, karena nash-nash tersebut tidak datang secara rinci. bahkan nash-nash terperinci pun tidak mencakup seluruh masalah yang Qath'i.
2.    Adapun aspek kedua, maka berbagai kejadian di dalam kehidupan ini senantiasa baru dan terus berkembang. Selama tidak mengerahkan segala kesungguhan untuk menggali hukum yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi, maka kita tidak akan bisa menerapkan hukum syara' terhadapnya. Karena kita mengetahui bahwa nash-nash telah menunjukkan secara sempurna atas wajibnya menerapkan hukum syara' pada setiap masalah. Allah swt berfirman dalam surat Al-Maidah ayat 49 yang artinya: "Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang di turunkan Allah". (Q.S.Al-Maidah ayat 49).[6]

4.    Kandungan Hukum
·      Hadis tersebut menunjukkan bahwa Nabi SAW membenarkan penggunaan pertimbangan akal dalam memutuskan permasalahan apabila keputusan tersebut tidak didapatkan di dalam Al-qur'an dan As-sunnah secara eksplisit.
·      Nabi Muhammad SAW mengizinkan untuk menggunakan pertimbangan akal pikiran dalam masalah-masalah keagamaan. Perizinan  tersebut diundangkan secara terang-terangan dalam haditsnya. Hadits yang dianggap basis perizinan ijtihad ini adalah sabda nabi kepada Mu'adz Bin Jabal, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Dawud:
"Hafash Bin Umar telah meriwayatkan kepada kita yang di terima dari Syu'baauk Himsh, dari para sahabat Mu'adz Bin Jabal bahwa ketika Rasulullah mengutus Mu'adz ke Yaman, beliau bertanya," Bagaimana engkau mengadili permasalahan yang diajukan padamu? Mu'as menjawab: "saya akan mengadilinya dengan Kitabullah (Al-Qur'an)", Rosulullah SAW bertanya lagi: "bagaimanaa bila engkau tidak mendapat petunjuk dari Kitabullah?", Mu'adz menjawab: "saya akan mengadilinya dengan Sunnah Rasulullah SAW". Rasulullah bertanya lagi: "Bagaimana jika engkau tidak mendapatkan petunjuk di dalam Sunnah Rasulullah dan dalam Al-Qur'an?", Mu'adz menjawab: "kalau begitu, saya akan menggunakan pertimbangan akalku  (berijtihad) tanpa membatasinya". Kemudian rasul menepuk punggung Mu'adz Bin jabal sambil berkata: "Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepada utusan Rasul-Nya sebagaimana yang dikehendaki". (H.R.Abu Dawud).

5.    Takhrij Hadits
a.       Kitab Hadits: Bukhari (أَجْرِ الْحَاكِمِ إِذَا اجْتَهَدَ فَأَصَابَ أَوْ أَخْطَأَ, juz: 22, hal: 335, no: 6805)
b.      Kitab Hadits: Muslim (بَيَانِ أَجْرِ الْحَاكِمِ إِذَا اجْتَهَدَ فَأَصَابَ أَوْ أَخْطَأَ, juz: 9, hal: 114, no: 3240)
c.       Kitab Hadits: Abu Dawud (فِي الْقَاضِي يُخْطِئُ, juz: 9, hal: 464, no: 3103)
d.      Kitab Hadits: Tirmidzi (مَا جَاءَ فِي الْقَاضِي يُصِيبُ وَيُخْطِئُ, juz: 5, hal: 160, no: 1248)
e.       Kitab Hadits: Nasa'i (الْإِصَابَةُ فِي الْحُكْمِ, juz: 16, hal: 212, no: 5286)
f.       Kitab Hadits: ibnu Majah (الْحَاكِمِ يَجْتَهِدُ فَيُصِيبُ الْحَقَّ, juz: 7, hal: 103, no: 2306)
g.      Kitab Hadits: Ahmad: (مُسْنَدُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ, juz: 14, hal: 4, no: 6466),

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan:
a.  Keutamaan orang yang berkiprah dalam peradilan dan mengetahui kebenaran dan menetapkan hukuman berdasarkan kebenaran tersebut, dan ancaman api neraka bagi hakim yang mengetahui kebenaran tetapi tidak menetapkan hukum berdasarkan kebenaran tersebut.
  1. Larangan terhadap seorang hakim untuk memutuskan suatu permasalahan dalam kondisi marah, karena kondisi seperti itu dapat mengeluarkan seorang hakim dari pandangan yang tidak benar dan tepat serta mengeluarkannya dari kestabilan kondisi,sehingga tidak dapat berfikir dan berijtihad.
c. Nabi SAW membenarkan dan mengizinkan penggunaan pertimbangan akal dalam memutuskan permasalahan apabila keputusan tersebut tidak didapatkan di dalam Al-qur'an dan As-sunnah secara eksplisit.


[1] Sunan Abu Dawud, فِي الْقَاضِي يُخْطِئُ, juz IX, hal: 463, no: 3102
[2] http://rosanakaryamandiri.blogspot.com/2010/09/tiga-tipe-hakim-hadits-ahkam.html#-1.
[3] Sunan Tirmidzi, مَا جَاءَ لَا يَقْضِي الْقَاضِي وَهُوَ غَضْبَانُ, juz V, hal: 171, no: 1254
[4] http://rosanakaryamandiri.blogspot.com/2010/09/tiga-tipe-hakim-hadits-ahkam.html#-1.
[5] Sunan Tirmidzi, مَا جَاءَ فِي الْقَاضِي يُصِيبُ وَيُخْطِئُ, juz V, hal: 160, no: 1248
[6] http://blogspot.com/2011/04=ijtihad_hakim_dalam_perspektif_undang-undang.html.


1 comment: